Edisi 1909
- Iblis senantiasaberusaha mencari cara untuk menjatuhkan manusia ke dalam lubang kemaksiatan
- Penyakit hati adalah dosa pertamayang dilakukan, baik di langit maupun di bumi
- Seorang mukmin itumencintai kebaikan pada saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan itu ada pada dirinya sendiri
- Hendaknya kita senantiasa mengevaluasi hati kita dan berdoa kepada Allah Taala agar tidaktertipu dengan diri sendiri dan terhindar dari segala penyakit hati
“Tidaklah masuk surga barang siapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meski sebesar biji dzarah (atom) sekalipun.”
(H.R. Muslim)
—
Ketika berbicara tentang dosa, maka seringkali yang pertama terbesit dalam pikiran kita adalah maksiat-maksiat yang dilakukan oleh anggota badan. Sebutlah berjudi, mencuri, meminum khamr, berzina, atau mungkin menzalimi orang lain. Tidak ada yang salah dengan pola pikir ini, bahkan Allah Ta’ala telah menegaskan kita untuk menjauhi perbuatan-perbuatan keji tersebut sebagaimana disampaikan dalam ayat berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah: 90)
Kerusakan-kerusakan di atas telah jelas adanya, seorang muslim yang berakal akan mengakui bahwa siapa saja yang berbuat demikian, maka dia telah berbuat dosa. Seorang mukmin akan merasa malu dalam hati kecilnya ketika ia terjatuh ke dalam perbuatan tersebut, baik sengaja ataupun tidak sengaja, serta berusaha untuk segera berhenti darinya ketika ia menyadari khilafnya.
Namun saudaraku sekalian, bukan Iblis namanya jika tidak punya cara untuk menjatuhkan manusia dalam kemaksiatan. Dosa yang nampak jelas di mata umumnya tak dilakukan banyak orang, maka Iblis senantiasa berusaha mencari cara untuk menjatuhkan manusia ke dalam lubang kemaksiatan yang lain, ialah penyakit hati.
Penyakit hati adalah dosa pertama yang dilakukan, baik di langit maupun di bumi. Maka bukanlah pencurian, perjudian, atau perzinaan yang mengubah kenikmatan hakiki menjadi derita abadi bagi Iblis, melainkan penyakit hati. Ia terusir dari surga karena hasad kepada Nabi Adam ‘alaihissalam sehingga menolak perintah Allah Ta’ala untuk sujud kepada Adam. Begitu pula di bumi tatkala kedua anak adam yaitu Qabil iri dan dengki kepada Habil.
Tentang Hasad dan Penawarnya
Pada dasarnya seorang manusia tidak suka ketika ia diungguli oleh pihak lain. Maka, orang yang hasad ketika ia melihat ada kelebihan pada diri orang lain, dia menginginkan kenikmatan tersebut hilang dari orang tersebut, sampai-sampai sebagian dari mereka rela melakukan kezaliman. Bukankah itu yang dilakukan Iblis, ia rela menzalimi Rabb-Nya dan dirinya sendiri agar Nabi Adam ‘alaihissalam tidak mendapatkan kemuliaan dengan ia sujud kepadanya.
Bagaimanapun, setiap manusia memang rentan terkena penyakit ini, namun bukanlah berarti kita harus mengikuti hawa nafsu dalam kedengkian tersebut. Dijelaskan oleh Ustadz Yazid hafizahullah bahwa secara umum orang yang dengki itu terbagi menjadi 4 kelompok,
- Kelompok yang menginginkan kenikmatan hilang dari orang lain dengan melakukan kezaliman kepadanya.
- Kelompok yang jika dengki kepada orang lain, dia tidak menuruti perasaan dengkinya dan tidak melakukan kezaliman.
- Kelompok yang tidak mengharapkan kenikmatan itu hilang dari orang lain, namun dia berusaha mendapatkan kenikmatan yang sama.
- Kelompok yang jika dia mendapati rasa dengki dalam dirinya, dia berusaha menghilangkannya, berbuat baik kepada yang didengki, mendoakannya, serta menceritakan kebaikan-kebaikan orang tersebut.
Maka, bagi kelompok pertama jelas terdapat dosa yang besar pada dirinya. Adapun kelompok kedua dan ketiga tidak berdosa, selagi dia tidak iri berlebihan terhadap kenikmatan dunia (bagi kelompok ketiga), dan akan menjadi kebaikan jika nikmat yang ia inginkan adalah kenikmatan dalam mengejar akhirat.
Ketika kita “iri” (berusaha untuk mendapatkan yang sama) terhadap orang yang mendapatkan kebaikan agama, maka ini adalah amal shalih yang dinamakan ghibthah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang: Orang yang diberi al-Qur’ân oleh Allah kemudian ia melaksanakannya di waktu malam dan siang hari, dan orang yang diberi harta oleh Allâh kemudian ia menginfakkannya di waktu malam dan siang hari.” (H.R. Bukhari)
Sementara itu, puncak keimanan adalah ketika kita mampu berada dalam kelompok keempat, karena seorang mukmin itu mencintai kebaikan pada saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan itu ada pada dirinya sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan penawar dengki dan benci melalui sabdanya,
“Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (H.R. Tirmidzi)
Sombong dan Ujub: Merasa Tinggi padahal Rendah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah masuk surga barang siapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meski sebesar biji dzarah (atom) sekalipun.” (H.R. Muslim)
Dalam sabda yang lain, “..Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (H.R. Muslim)
Penyakit hati lain yang perlu diwaspadai adalah sombong dan ujub. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain. (Bahjatun Nadzirin, I/664). Sementara ujub adalah perasaan takjub dengan diri sendiri dan merasa kehebatan yang ia lakukan semata-mata dari dirinya dan bukanlah karunia dari Allah Taala.
Seringkali tatkala seseorang sudah mulai perhatian terhadap agama dan akhiratnya, maka ia pun merutinkan amalan shalih. Orang tersebut mulai merutinkan sholat, banyak membaca Al-Qur’an, dan berusaha untuk hadir ke majelis ilmu. Maka, kita wajib bersyukur dan senang jika diri ini ataupun saudara kita diberikan kebaikan seperti ini, karena nikmat hidayah dan kesadaran terhadap negeri akhirat adalah kebaikan yang tiada duanya.
Pihak yang paling tidak senang melihat keadaan ini adalah Iblis dan sekutunya. Maka, seketika ia mengubah misinya untuk mulai menjatuhkan orang tersebut dari pintu-pintu maksiat yang lain.
“Lihatlah kawan lamamu si A, sekarang kamu jauh lebih baik dari dia, kamu rutin baca Al-Quran sementara dia sholat saja sering terlambat.”
“Sekarang kamu bisa bangun di sepertiga malam untuk tahajjud, ini karena kehebatanmu dalam melawan hawa nafsu dan mengatur strategi.”
“Jangan dengarkan pendapat apapun dari Bapak B, dia tidak lebih benar darimu karena kamu lebih sering datang ke majelis ilmu daripada dia.”
Dan bisikan-bisikan lainnya, begitulah cara Iblis merusak agama seseorang yang Allah berikan kelebihan pada dirinya. Maka ketika bisikan-bisikan seperti ini datang ke dalam hati seorang anak Adam, ingatlah sebuah nasihat yang indah dari seorang ulama ini,
“Orang yang ujub merasa bahwa dirinya paling tinggi dihadapan manusia yang lain… bahkan merasa dirinya lebih tinggi di sisi Allah.., namun pada hakikatnya dialah orang yang paling rendah dan hina di sisi Allah”.
Tak ada kebaikan bagi seseorang yang merasa paling baik, karena seorang mukmin itu hendaknya “suudzon” terhadap dirinya sendiri. Terus mengevaluasi apakah ia sudah ikhlas, apakah amalannya sudah diterima, apakah sudah maksimal dalam menjaga diri dari maksiat. Karena kebaikan yang diiringi kebanggan tidak lebih baik daripada keburukan yang ditutup dengan taubat.
Sesungguhnya seorang hamba melakukan perbuatan kebaikan lalu perbuatan baiknya itu menyebabkan ia masuk neraka, dan sesungguhnya seorang hamba melakukan perbuatan buruk lalu perbuatan buruknya itu menyebabkan dia masuk surga, hal itu dikarenakan perbuatan baiknya itu menjadikan ia bangga pada dirinya sendiri sementara perbuatan buruknya menjadikan ia memohon ampun serta bertobat kepada Allah karena perbuatan buruknya itu.
(Majmu ‘Al-Fatawa, 10:277)
Hendaknya kita senantiasa mengevaluasi hati kita dan berdoa kepada Allah Taala agar tidak tertipu dengan diri sendiri dan terhindar dari segala penyakit hati.
Wallahu A’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
Ditulis : Rafi Pohan (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.